Detail Interest Area

PERAN MASYARAKAT, BPD DAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN KEUANGAN PEMBANGUNAN DESA

Sumber : Dodik Merdiawan


PERAN MASYARAKAT, BPD DAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN KEUANGAN PEMBANGUNAN DESA

 

Dodik Merdiawan

Abstraksi

“Memrediksi bagaimana mengetahui kondisi desa terhadap perkembangan kemajuan dan pembangunannya selama kurun waktu 6 tahun mendatang? cermatilah muatan muatan di dalam Perencanaan Keuangan (APBDesa)

 

Ruang lingkup perencanaan dapat dikatakan sebagai upaya Pemerintah desa untuk membuat arah kebijakan pembangunan yang harus dilakukan dengan didasarkan pada potensi, sumber daya yang ada serta permasalahan yang dimiliki oleh wilayah desa yang bersangkutan.

Anggaran merupakan pengungkapan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam parameter keuangan maupun ukuran finansial; sedangkan penganggaran adalah bagian proses tahapan atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.

Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang tak terpisahkan. Output dari perencanaan adalah penganggaran. Jadi perumusan program di dalam perencanaan pada akhirnya bermuara pada besarnya kebutuhan anggaran yang harus disediakan. Konsepsinya adalah pemerintah desa harus mampu memastikan seluruh tahapan untuk mencapai tujuan dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Tahapan tersebut meliputi; (1) membuat peta permasalahan dan potensi desa, (2) penyusunan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa), dan (3) penyusunan perencanaan keuangan dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Biaya Desa (APBDesa). Artinya Perencanaan desa merupakan bagian yang akan menumbuhkan kemandirian desa. Pembangunan desa setidaknya mempunyai ciri-ciri kunci yang mampu mendorong perilaku positif. Diantaranya; anggaran desa disusun dengan melibatkan seluruh aspek masyarakat, hasil pencapaian (kinerja) pembangunan desa harus mendapatkan umpan balik dari masyarakat desa, hasil pencapaian (kinerja) pembangunan desa dinilai berdasarkan sumberdaya dan sumberdana (biaya-biaya) yang dapat dimonitor (dalam pengawasan) masyarakat, ukuran-ukuran hasil pencapaian (kinerja) pembangunan desa realistis (senyata-nyatanya dan dapat dimengerti oleh masyarakat desa).

Membangun iklim kemasyarakatan yang dapat menumbuhkan prakarsa dan rasa tanggung jawab masyarakat desa untuk berperan serta secara lebih konstruktif dan aktif dalam melakukan kegiatan pemantauan, pengawasan dan evaluasi. Hal ini mencakup penciptaan semangat kebersamaan di kalangan masyarakat desa. Pengembangan kebersamaan adalah dasar untuk membangun daya tahan masyarakat terhadap segala tantangan dan hambatan dalam melaksanakan kegiatan pemantauan, pengawasan dan evaluasi secara mandiri.

Penulisan artikel ini membahas tentang kebijakan perencanaan & penganggaran, pelaksanaan Pengawasan yang konstruktif serta analisis perencanaan keuangan dengan melihat apakah input atau alokasi anggaran rasional dengan output yang akan dicapai, termasuk indikator dari output, outcome, benefit dan impact.

Tulisan ini didasarkan pada empiris lapang yang menjelaskan bagaimana apakah perencanaan keuangan pembangunan desa yang disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Apakah mampu menyelesaikan permasalahan desa terkait dengan kemiskinan, mengurangi gender gap, serta berorientasi pada pemenuhan hak pelayanan dasar masyarakat.  Sehingga tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi Pemerintah desa guna melakukan “refleksi diri” serta bahan penilaian dan evaluatif perencanaan keuangan pembangunan desa ke depan. Sehingga Kepala Desa diharapkan bisa mengerakan potensi sumber daya yang ada di desa.

Kata Kunci: Regulasi, Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan, SDM, Potensi Aset & Kemandirian Desa 

PENDAHULUAN

Kutipan dari berita yang termuat di Gampong RT; Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan proses pembangunan infrastruktur dan penyaluran Dana Desa berpengaruh besar dalam pengurangan atau penurunan kesenjangan di Indonesia. Untuk mengatasi problem tersebut, Presiden Jokowi menyatakan dirinya bertekad untuk terus mempersempit ketimpangan penduduk di Indonesia. Pembangunan infrastruktur dan dana desa jadi alat untuk memperkecil ketimpangan tersebut. Dari awal saya sampaikan problem kita kemiskinan, kesenjangan, ketimpangan antar kawasan, juga antar individu. Kemudian masalah ketiga berkaitan dengan pengangguran. Semua negara menghadapi masalah seperti ini, kata Jokowi. Ke depan, Jokowi akan terus fokus memperkecil ketimpangan yang terjadi di masyarakat.

Proses pembangunan infrastruktur itu pengaruh sekali karena ada penyerapan tenaga kerja, itu pengaruh kepada income. Kedua, dana desa juga berpengaruh sekali karena dana yang beredar di daerah, kecamatan, desa bertambah daya beli bertambah sehingga (rasio gini) dari 0,402 turun menjadi 0,397, jelas Jokowi di lokasi pembangunan PLTG di Idanoi, Kota Gunungsitoli, sekitar pukul 16.40 WIB, Jumat (19/8/2016).

Seiring dengan hal tersebut, terdapat perspektif dan semangat otonomi yang termuat dalam UU Desa No. 6 Tahun 2014 yang telah mengusung misi baru: negara melindungi dan memberdayakan desa menjadi desa yang maju, kuat, mandiri dan demokratis sebagai landasan yang kokoh bagi kesejahteraan rakyat. Misi besar ini bukanlah perkara teknis, pragmatis, administratif dan manajerial, melainkan merupakan persoalan filosofis, ideologis dan politik. Berdasarkan misi dan prinsip ini, maka ada sejumlah platform baru perubahan desa.

Pembangunan desa lebih bermakna bagi kesejahteraan masyarakat desa. Kondisi riil di desa masih lemahnya kualitas hidup dan kemiskinan masyarakat desa. Pelaksanaan UU Desa, termasuk pendampingan desa, bisa menjadi momentum baru untuk melakukan revolusi mental pembangunan desa. Edukasi sosial politik kepada masyarakat, pelatihan dan dorongan terhadap pemuka desa, maupun musyawarah desa menjadi arena dan kegiatan yang bisa memperluas dan memperdalam perubahan makna tujuan pembangunan desa. Pembangunan desa bukan semata mata memberikan layanan infrastruktur saja, tetapi juga mengarah pada perbaikan pelayanan dasar, kualitas hidup manusia, serta peningkatan ekonomi lokal.

Desa mempunyai hak dan kewenangan untuk mengambil keputusan tentang perencanaan kegiatan dan penganggaran secara mandiri. Dalam prespektif pembangunan desa, posisi sistem perencanaan keuangan pembangunan desa seperti yang dimuat dalam UU Desa merupakan sarana yang harus dipandang sebagai perwujudan amanah rakyat yang teknisnya dilakukan pemerintah desa bagi kemakmuran rakyat, karena rakyat yang memberi kuasa.

Dalam rangka mewujudkan bahwa rakyat benar-benar bersama-sama pemerintah desa dalam sistem perencanaan keuangan pembangunan, peran masyarakat, BPD dan tokoh masyarakat mempunyai alat kelengkapan yang penting untuk memastikan proses pelaksanaannya berjalan secara partisipatif. Masyarakat harus terlibat dan/atau dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan pembangunan desa untuk mencapai pada titik desa mandiri mulai dari tahap identifikasi masalah dan potensi, penyusunan RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) serta RKPDesa (Rencana Kegiatan Pemerintah Desa), dan penyusunan APBDesa (Anggaran Pendapatan dan Biaya Desa).

Ruang lingkup Perencanaan keuangan pembangunan dapat dikatakan sebagai upaya Pemerintah desa untuk membuat arah kebijakan pembangunan yang harus dilakukan dengan didasarkan pada potensi, sumber daya yang ada serta permasalahan yang dimiliki oleh wilayah desa yang bersangkutan. Anggaran merupakan pengungkapan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam parameter keuangan maupun ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah bagian proses tahapan atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Sehingga Perencanaan keuangan pembangunan dan penganggaran merupakan proses yang tak terpisahkan. Artinya output dari perencanaan keuangan pembangunan adalah penganggaran. Jadi perumusan program di dalam perencanaan keuangan pembangunan desa pada akhirnya bermuara pada besarnya kebutuhan anggaran yang harus disediakan.

Langkah yang dilakukan adalah menyiapkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan desa. Diantaranya, memahamkan masyarakat tentang makna penganggaran, hubungan anggaran desa dengan pembangunan yang ada didesa, sumber sumber pendapatan desa, lokasi dan alokasi sumber penganggaran dan belanja desa, serta masalah-masalah yang umumnya dihadapai dalam penganggaran, dan apa saja yang harus diutamakan masuk dalam penganggaran. Pemahaman tersebut akan menjadi dasar bagi masyarakat untuk bersama-sama pemerintah desa mengikuti semua tahapan proses perencanaan pembangunan dan penganggaran secara partisipatif.

Penyusunan anggaran yang dilakukan secara partisipatif sebagai salah satu cerminan bahwa pembangunan desa dilakukan dengan membuka peluang bagi seluruh warga untuk terlibat (prinsip inklusi), dalam segala bentuk-bentuk musyawarah desa (prinsip demokrasi), dan kemudahan untuk memperoleh informasi bagi masyarakat (prinsip transaparansi).

Kesesuaian issue strategis dalam sistem perencanaan pembangunan desa adalah menentukan arah kebijakan anggaran desa yang disusun, didasarkan atas hak dan kewajiban mengurus diri sendiri (Local Self-Government). Arah tersebut sebagai tujuan pembangunan desa yaitu untuk mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Oleh sebab itu, pemerintah desa harus mampu memastikan seluruh tahapan untuk mencapai tujuan dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Tahapan tersebut meliputi; (1) melakukan pengkajian keadaan desa, (2) penyusunan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa), dan (3) penyusunan Anggaran Pendapatan dan Biaya Desa (APBDesa). Artinya Perencanaan pembangunan dan penganggaran desa merupakan bagian yang akan menumbuhkan kemandirian desa. Pembangunan desa setidaknya mempunyai ciri-ciri kunci yang mampu mendorong perilaku positif. Diantaranya; anggaran desa disusun dengan melibatkan seluruh aspek masyarakat, hasil pencapaian (kinerja) pembangunan desa harus mendapatkan umpan balik dari masyarakat desa, hasil pencapaian (kinerja) pembangunan desa dinilai berdasarkan sumberdaya dan sumberdana (biaya-biaya) yang dapat dimonitor (dalam pengawasan) masyarakat, ukuran-ukuran hasil pencapaian (kinerja) pembangunan desa realistis (senyata-nyatanya dan dapat dimengerti oleh masyarakat desa).

MAKNA PERENCANAAN KEUANGAN BAGI MASYARAKAT DESA

Analogi dalam kehidupan sehari-hari, ibarat sebuah rumah tangga akan dihadapkan pada kondisi jumlah dana atau pendapatannya terbatas (dalam jumlah tertentu). Oleh sebab itu, setiap rumah tangga harus mengatur atau membelanjakan dana yang dimilikinya agar dapat memenuhi kebutuhan yang benar-benar atau harus didanai, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk masa depan keluarganya. Diantaranya kebutuhan untuk makan, pakaian, biaya listrik, telepon, biaya sekolah, dan mungkin tabungan pensiun. Pembelanjaan ini dapat dilakukan dengan perencanaan atau menyisihkan dana pada kelompok kebutuhan dalam pos pos yang terpisah, agar pada saatnya tiba dana yang dibutuhkan tersedia.

Lain halnya bagi sebuah pemerintahan desa. Pembelanjaan atas seluruh penerimaan dan atau kekayaan potensialnya didasarkan pada kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan rumah tangga. Seringkalipembelanjaan melupakan “nasib” kebutuhan para kaum miskin, petani,  pedagang eceran, tukang sayur, peternak atau tempat-tempat hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing, bebek atau apapun jenisnya. Di desa, yang mayoritas lahan pertanian, seringkali terdapat pembelanjaan yang tidak memihak kepada mereka, padahal para petani inilah yang barangkali pemiliki lahan sebenarnya atau penggarap (buruh) pertanian yang jumlah pekerjanya barangkali terbanyak dalam sebuah pemerintahan desa.

Jika sebuah pemerintahan desa mempunyai tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya, masyarakat yang bagian manakah atau jenis apakah yang akan disejahterakan. Bukankah petani atau buruh tani juga bagian dari masyarakat yang harus dihargai keberadaannya dan menjadi bagian tanggung jawab pemerintahan. Bagaimana juga dengan kebutuhan masyarakat lainnya (kaum difabel, para anak jalanan, pengangguran, masyarakat rentan kemiskinan, dan lain-lain)? Jika pemerintah tidak melibatkan mereka secara bersama-sama menentukan nasibnya sendiri, siapakah yang memikirkan kebutuhan mereka, akan kemanakah mereka mencari perlindungan hak dan kewajibannya? Haruskah sebuah kesejahteraan hanya akan menjadi impian saja buat mereka?

Jika kondisi yang ada sebagaimana yang telah dicontohkan, apakah makna perencanaan keuangan bagi masyarakat? Dalam ungkapan sederhana perencanaan keuangan dapat jelaskan sebagai proses musyawarah bersama (seluruh aspek masyarakat) dalam rangka membagi-bagi (mengalokasikan) sumberdana (pendapatan atau penerimaan) sesuai dengan pos-pos pembelanjaannya untuk mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat dalam jangka waktu tertentu (umumnya 1 tahun atau multi tahun untuk kegiatan yang tidak memungkinkan diselesaikan dalam satu tahun).

Dengan demikian, jika perencanaan keuangan desa dikaitkan dengan pembangunan desa, maka perencanaan keuangan desa hendaknya merupakan perwujudan mekanisme yang berguna untuk memastikan tumbuhnya bentuk hubungan warga dengan pemerintah desa dalam membangun transparansi. Oleh sebab itu, dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan desa, hendaknya masyarakat desa setempatlah yang menjadi aktor atau pemain utamanya dan menjamin bahwa tujuan seluruh aspek masyarakat tersebut akan dicapai seiring dengan tercapaian tujuan pembangunan desa. Dengan kata lain, keberpihakan tujuan perencanaan pembangunan desa adalah untuk mencapai tujuan seluruh aspek masyarakat setempat, bukan hanya untuk mencapai tujuan individu-individu tertentu

PERAN MASYARAKAT, BPD & KELEMBAGAAN MASYARAKAT DESA

Peran Masyarakat (Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Masyarakat, dll)

Partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Pasal 80 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan desa dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat desa. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut di dalam PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yaitu bahwa partisipasi masyarakat di dalam proses perencanaan pembangunan desa dilakukan melalui pelaksanaan Musyawarah Desa (Musdes) dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang Desa).

Penyusunan dokumen RPJM Desa dan RKP Desa dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat desa. Pasal 15 Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Desa menjelaskan bahwa unsur masyarakat desa yang perlu dilibatkan antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, kelompok pemerhati dan perlindungan anak, kelompok masyarakat miskin, dan kelompok lainnya.

Sehingga menerjemahkan regulasi tersebut, bahwa pelaksanaan perencanaan pembangunan desa, dari proses ini diharapkan masyarakat desa termasuk sebagai pelaku utama di desa, mampu menemukenali sendiri masalah-masalah yang terjadi sekaligus menemukan solusi bagi perbaikan di wilayahnya. Sesuai dengan prinsip-prinsip dari pemantauan, pengawasan dan evaluasi, jika muncul suatu masalah di lapangan yang memerlukan tindakan perbaikan. Dengan segera dicari altenatif solusi dan pemecahan masalah melalui mekanisme regulasi yang ada. Kegiatan pemantauan, pengawasan dan evaluasi bukanlah sebuah kegiatan untuk mencari-cari kesalahan dan penghakiman bagi orang-orang yang dianggap lalai dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di desa, tapi merupakan bagian dari proses upaya pembelajaran dan pembangunan yang lebih baik.

Kegiatan penting yang harus dilakukan adalah membangun iklim kemasyarakatan yang dapat menumbuhkan prakarsa dan rasa tanggung jawab masyarakat desa untuk berperan serta secara lebih konstruktif dan aktif dalam melakukan kegiatan pemantauan, pengawasan dan evaluasi.Hal ini mencakup penciptaan semangat kebersamaan di kalangan masyarakat desa. Pengembangan kebersamaan adalah dasar untuk membangun daya tahan masyarakat terhadap segala tantangan dan hambatan dalam melaksanakan kegiatan pemantauan, pengawasan dan evaluasi secara mandiri.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Mengingat kedudukan, kewenangan desa yang semakin kuat, penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara pemerintah desa dan lembaga desa. Badan Permusyawaratan Desa yang dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan pemerintahan desa bersama kepala desa.

Badan Permusyawaratan Desa merupakan badan permusyawaratan di tingkat desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, pemerintah desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa dalam menetapkan kebijakan Pemerintahan Desa.

Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:

  • Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
  • Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
  • Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis yang masa keanggotaannya selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.

Kelembagaan Masyarakat Desa

Di dalam UU Desa diatur mengenai kelembagaan desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) antara lain Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD).

Lembaga Kemasyarakatan Desa merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa dan berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat desa serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan yang dibentuk atas prakarsa pemerintah desa dan masyarakat. Pembentukannya LKD diatur dalam Peraturan Desa, dengan rincian tugas: melakukan pemberdayaan masyarakat desa; ikut serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dan meningkatkan pelayanan masyarakat desa. Sedangkan fungsi yang dimiliki oleh LKD sebagai berikut:

  1. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
  2. Menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat;
  3. Meningkatkan kualitas dan mempercepat pelayanan Pemerintah Desa kepada masyarakat desa;
  4. Menyusun rencana, melaksanakan, mengendalikan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan secara partisipatif;
  5. Menumbuhkan, mengembangkan, dan menggerakkan prakarsa, partisipasi, swadaya, serta gotong royong masyarakat;
  6. Meningkatkan kesejahteraan keluarga; dan Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

MASALAH YANG SERING MUNCUL

Pada aspek tata kelola dan laksana, terdapat beberapa persoalan, sering kita jumpai:

  1. kerangka waktu siklus penyusunan  perencanaan keuangan dan pengganggaran desa sulit dipatuhi oleh desa; masih terdapat pengalokasian penggunaan komposisi belanja desa 30:70 yang campur baur, serta kesesuaian penggunaan masing masing bidang masih mengalami kerancuan.
  2. Muatan perencanaan pembangunan desa yang tertuang anggaran di APBDes, serta merta disusun tidak sepenuhnya menggambarkan prioritas program masyarakat desa serta belum menjawab pemenuhan kebutuhan dasar yang diprioritaskan oleh masyarakat. Salah satu faktor penghambatnya adalah sumber pendapatan atau penerimaan yang membiayai kegiatan yang dimaksud, terbesar berasal dari dana transfer sehingga memunculkan tingkat ketergantungan yang tinggi ;
  3. SDM terutamanya adalah pemerintah desa (Kepala Desa berserta perangkatnya) masih butuh peningkatan kapasitas secara berkelanjutan. Banyak kendala dalam penuyusunan laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh desa belum mengikuti standar, hal ini rawan dimanipulasi, salah satunya disebabkan karena ketidakjelasan sistem akuntansi yang dipakai serta wujud transparansi dan akuntabilitas rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDes masih rendah;
  4. Tingkat kesadaran masyarakat masih rendah dan budaya “instan”dalam melakukan perencanaan pembangunan sering terjadi, hal ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan sumber daya maupun sumber dana kegiatan yang diprioritaskan terabaikan;
  5. Kualitas pendamping profesional secara kompetensi, sebagian dari mereka dalam mendampingi secara teknis perencanaan dan pengelolaan keuangan desa belum berstandar dan tidak optimal.

PEMBAHASAN

Tahapan perencanaan pembangunan dan penganggaran desa tidak seluruhnya mudah dilakukan oleh seluruh masyarakat. Terdapat beberapa poin yang harus menjadi perhatian terhadap mekanisme pelaksanaannya. Adapun mekanisme yang dimaksud, secara khususnya dapat memungkinkan (berpotensi) munculnya permasalahan. Diantaranya adalah:

  1. Ketaatan dan kepatuhan menjalankan regulasi yang berlaku
  2. Prioritas program masyarakat desa,
  3. Pemenuhan kebutuhan sumberdaya / sumberdana program yang diprioritaskan
  4. Penetapan ukuran-ukuran yang realistik atas hasil pencapaian (kinerja) pelaksanaan kegiatan yang diprioritaskan.
  5. Kompetensi SDM pemerintahan desa dan Pendamping Profesional
  6. Pengawasan dan Pemantauan berbasis masyarakat

Sebagaimana pembahasan hal tersebut diatas, penjelasan yang dimaksud adalah;

Ketaatan dan kepatuhan. 

Dalam rangka penyusunan perencanaan keuangan yang harus mendasar pada peraturan perundang-undangan:

  1. UU No. 6 Tahun 2014
  2. PP No. 43 Tahun 2014, PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014, PP No. 60 Tahun 2014 beserta PP No. 22 tahun 2015 tentang Perubahan atas PP 60 Tahun 2014 PP No. 8 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun 2014;
  3. Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa
  4. Permendagri No. 113 tentang Pengelolaan Keuangan Desa & Permendagri No. 114 Tentang Pedoman Pembangunan Desa
  5. Permendesa No. 21 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015
  6. Perda & Perbup setiap kabupaten

Ketaatan dan kepatuhan menjalankan regulasi merupakan wujud kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan, sehingga dalam penyusunaan perencanaan keuangan dan kegiatan hal yang paling mendasar tentunya berpijak pada peraturan yang berlaku.Hal ini guna menghindari terhadap permasalahan dibelakang hari.

Prioritas program masyarakat desa. 

Tahap penentuan prioritas program atau kegiatan yang akan dilakukan pada kurun waktu penganggaran, umumnya terjadi pada tahap penyusunan RPJMDesa dan RKPDesa. Tahap inilah yang harus menjadi perhatian utama dan pertama bagi semua pihak, karena prioritas program menjadi tumpuan perwujudan pembangunan desa.

Dalam praktiknya proses prioritas program seringkali dilawankan atau dihadapkan dengan kehendak pemerataan pembangunan. Padahal, kedua hal tersebut (prioritas dan pemerataan) merupakan sesuatu yang sangat berbeda dan akan mempunyai hasil pencapaian (kinerja) berbeda.

Prioritas mendasarkan pada kondisi bahwa kegiatan itu penting dan mendesak untuk dilakukan dengan tujuan kemanfatan untuk orang banyak. Sedangkan, pemerataan ditempatkan pada semua kegiatan dilakukan pada saat yang sama, bahkan untuk pihak-pihak yang sebenarnya belum atau tidak membutuhkan pada saat tersebut.

Oleh sebab itu, penganggaran desa dalam sistem pembangunan desa, dilakukan dengan prinsip-prinsip yang benar, menjadi sangat penting untuk diperhatikan.

Seluruh pemenuhan kebutuhan publik harus sudah termuat dalam dokumen RPJM Desa, yang secara umum berfungsi sebagai penjamin penentuan arah kebijakan dan strategi pembangunan desa dalam mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Kebutuhan publik meliputi:

  1. pembangunan infrastruktur padat karyaguna menopang terjadinya peningkatan pengembangan usaha ekonomi masyarakat desa, lancarnya aktivitas masyarakat sehari hari,
  2. pemenuhan standar pelayanan minimum desa sesuai dengan letak dan ciri khas geografis desa,
  3. penanggulangan kemiskinan sesuai dengan karakteristik kemiskinan yang ada di desa yang bersangkutan,
  4. pengembangan usaha ekonomi masyarakat desa sesuai dengan kemungkinan pengembangan (potensi) atas kekayaan desa dan,
  5. pengembangan sumber daya manusia  dalam rangka peningkatan keberdayaan dan pembentukan modal sosial budaya masyarakat desa.

Jelas lah bahwa penganggaran desa hendaknya ditujukan untuk merealisasikan pemenuhan kebutuhan publik.

 

Pemenuhan kebutuhan sumberdaya / sumberdana pembangunan desa.

Pendapatan dan kekayaan potensial desa mempunyai keterbatasan dalam jumlah dan penggunaan. Tidak menutup kemungkinan, untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya/sumberdana pemerintah desa membutuhkan pembiayaan dari pihak lain (pemerintah, pemerintah daerah, atau kaum peduli), baik itu berupa hibah/bantuan atau kerja sama dengan pihak ke 3. Keseluruhan sumberdaya/sumberdana yang digunakan oleh pemerintah desa dalam upaya untuk membiayai (dibelanjakan) program dan kegiatan pada waktu tertentu disebut dengan penerimaan.

Kecukupan sumberdaya/sumberdana seringkali menjadi masalah utama berikutnya dalam sistem penganggaran desa. Penaksiran kebutuhan sumber pendanaan kegiatan seringkali tidak dapat diyakini perolehannya. Informasi sumber-sumber pendanaan dari pihak luar, khususnya dari pemerintah dan pemerintah daerah seringkali kurang tersosialisasikan di tingkat desa. Oleh sebab itu, perolehan informasi tentang sumber-sumber dana dari pemerintah dan pemerintah daerah berkaitan dengan kebutuhan penganggaran desa dalam mekanisme pembangunan desa.

Disamping hal tersebut diatas, pemerintah desa sudah masanya harus berani mengambil risiko menciptakan kreativitas untuk memperolah sumber pendapatan, menghilangkan sedikit demi sedikit  ketergantungan yang sangat tinggi pada pendapatan transfer. Dengan salah satu cara efisiensi belanja operasionalnya, serta peningkatan pendapatan asli desa / PAD (melakukan kerja sama dengan pihak ketiga yang saling menguntungkan, pemanfaatan dan pengelolaan potensi desa dengan membentuk BUMDesa)

 Penetapan ukuran-ukuran hasil capaian (kinerja)

Masyarakat terlibat dalam proses pembangunan desa secara menyeluruh, dari tahap awal sampai akhir proses (titik pertanggungjawaban) pelaksanaan program dan kegiatan, bahkan sampai pada dampak program dan kegiatan tersebut bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, agar dapat dilakukan proses pengukuran tingkat pencapaian hasil program dan kegiatan maka secara bersama-sama dengan pemerintah desa masyarakat harus menentukan ukuran-ukuran hasil pencapaian yang nyata, mudah dilakukan dan dipahami.

Penetapan ukuran ini merupakan bagian akhir yang memungkinkan berpotensi menimbulkan permasalahan dalam penganggaran desa. Secara umum, ukuran hasil pencapaian dapat menggunakan angka (kuantitatif), baik dalam satuan mata uang (rupiah) maupun angka-angka target lainnya (misalnya: panjang dan ketebalan jalan yang dibangun, tinggi dan luas jembatan, debit air dalam irigasi, dan lain-lain). Bentuk ukuran lainnya, dapat berupa bukan angka (kualitatif). Ukuran dalam bentuk kualitatif sangat beragam, umumnya sangat dipengaruhi oleh jenis program dan kegiatan yang dibiayai (dilaksanakan) dalam penganggaran. Misalnya, untuk mengukur pemanfaatan pembangunan PUSTU (Puskesmas Pembantu) dapat menggunakan ukuran berapa sering kegiatan pelayanan dilakukan dalam setiap minggu/bulan, berapa banyak masyarakat dapat dilayani dalam setiap minggu/bulan, tingkat perbaikan kesehatan masyarakat, dan lain-lain.

Penggunaan ukuran-ukuran yang berlaku umum sangat dimungkinkan untuk diadopsi (diterapkan dengan penyesuaian pada kondisi desa setempat), untuk mempermudah proses penyusunan dan penetapan ukuran.

Kompetensi SDM pemerintahan desa dan Pendamping Profesional

Dari sisi kompetensi kepala desa dan perangkatnya, sejumlah masalah juga masih ditemui kepala desa memegang peranan penting karena dia merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa (Pasal 3 ayat (1) Permendagri No. 113 Tahun 2014). Dengan posisinya tersebut, dia memiliki kewenangan yang luas, antara lain: menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDes; menetapkan Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) yang terdiri atas sekretaris desa, kepala seksi, dan bendahara; menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa; menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang ditetapkan dalam APBDes; dan melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDes (Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 113 Tahun 2014).

Jelaslah disini bahwa kepala desa menjadi tumpuan utama untuk memastikan apakah pengelolaan keuangan desa sudah dijalankan sesuai dengan asas-asas dan prinsip-prinsip yang ditentukan

Di salah satu kabupaten misalnya, banyak kepala desa yang mengaku tidak berani menggunakan dana desa karena masih menunggu fasilitas dari pendamping desa. Kemudian, pendamping desa yang berasal dari rekrutmen baru juga belum tentu memiliki kompetensi yang diharapkan. Kemendes PDTT membuka pendamping desa untuk lulusan sarjana yang baru lulus (fresh graduate). Rekrutmen dilakukan pada bulan Agustus 2015 dan mobilisasi dilakukan pada bulan September 2015. Dengan pengalaman yang masih terbatas dan waktu pelatihan yang sangat singkat, terlebih dengan kemungkinan proses seleksi yang lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas mengingat dibutuhkannya jumlah pendamping yang banyak (setara dengan banyaknya jumlah desa di Indonesia), maka kompetensi sebagian dari mereka dalam mendampingi teknis perencanaan  keuangan pembangunan desa bisa jadi belum berstandar prima dan tidak optimal.

Pengawasan dan pemantauan berbasis masyarakat

Adalah sebuah kegiatan yang menginisiasi dan mendorong gerakan masyarakat desa untuk turut andil dalam kegiatan pembangunan di desa, dan mengambil peran aktif menjaga proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam suatu kegiatan pengawasan dan pemantauan. Agar pengawasan dan pemantauan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan masyarakat peduli. Siapakah masyarakat peduli adalah warga desa yang dengan sukarela melibatkan diri dalam kegiatan pengawasan dan pemantauan yang berbasis di masyarakat. Dengan demikian mereka secara sukarela turut serta memberikan kontribusi dalam menjaga program pembangunan tersebut, melalui kegiatan pengawasan dan pemantauan.

Oleh karena itu, kepedulian masyarakat untuk ikut serta secara sukarela mengawasi dan memantau program perlu ditumbuhkan. Dalam rangka menumbuhkan kepedulian masyarakat diperlukan rangsangan (stimulan), melalui pembimbingan dan pelatihan, sehingga aktivitas masyarakat yang peduli mempunyai ruang gerak yang lebih luas sekaligus memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan.

SIMPULAN

Regulasi dan kebijakan, telah diterbitkan berbagai peraturan yang mengatur mengenai desa, dana desa, pengelolaan keuangan desa, pelaporan dan pertanggungjawaban, pedoman pembangunan desa baik dalam tataran UU, PP, maupun Permen serta Perda dan Perbub. Peraturan tersebut berkembang secara dinamis. Regulasi ini yang menjadi ketaatan dan kepatuhan pemerintah desa dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan skala lokal desa.

Pemantauan dan Pengawasan, jumlah desa yang banyak dan tersebar membersitkan keraguan mengenai mungkinnya pelaksanaan pengawasan yang menyeluruh. BPK dan BPKP tidak mempunyai kaki sampai ke seluruh desa dan hanya dapat melakukan audit secara sampling. Demikian pula dengan Inspektorat Daerah yang memiliki keterbatasan kapasitas dan daya jangkau, apalagi bila di daerah tersebut jumlah desanya cukup banyak. Sementara itu, kecamatan selaku entitas supradesa yang paling dekat dengan desa dan diharapkan mampu melakukan pengawasan, sebagaimana kutipan KPK, ruang lingkup pengawasan dan evaluasinya belum jelas. Kecamatan sendiri juga tidak memiliki tenaga fungsional yang dapat membimbing pengelolaan keuangan desa karena lebih banyak diisi tenaga administratif. Jika kemudian ihwal pengawasan lebih diandalkan kepada masyarakat desa itu sendiri, keraguan muncul terkait dengan kapasitas dan kekuatan tawarnya di hadapan pemerintah desa. Mekanisme pengawasan dari masyarakat ini bahkan tidak diatur secara jelas dalam peraturan yang ada. Dari serangkaian masalah tersebut, singkatnya dapat dikatakan bahwa model pengawasan yang efektif untuk menjamin terkelolanya keuangan desa dengan baik masih belum dikonstruksikan dan dilembagakan.

Kompentensi SDM, pemerintah desa (kepala desa beserta perangkatnya), sejumlah masalah juga masih ditemui. Seharusnya pemerintah pusat dan daerah secara gencar gencarnya menyusun sebuah progam terpadu / integratif terhadap peningkatan kapasitas bagi pemerintah desa secara keberlanjutan.

Disamping kompentensi SDM dari Pemerintah Desa, juga kompentensi Tenaga Pendamping Profesional haruslah menjadi perhatian dalam meningkatkan kapasitas baik secara teknis, manajerial maupun kepemimpinan. Karenanya seorang pendamping professional akan selalu melakukan pendampingan secara intens kepada pemerintah desa. Pendampingan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan yang dilakukan di desa

SARAN

  1. Pola pengembangan kapasitas SDM pemerintah desa terformula dengan integratif. Perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan secara intensif dan berkelanjutan.  Pendampingan dan pengawasan berupa monitoring dilakukan secara berjenjang dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kecamatan, sehingga output dan outcome serta impact bisa dirasakan oleh pemerintah desa dalam menjalankan tata kelola pemerintahan desa secara transparan serta akuntabel. Dengan demikian akan menjadi desa maju, kuat, mandiri, adil, sejahtera dan demokratis
  2. Perlu dibentuk pedoman yang lebih teknis, sederhana lagi terkait dengan format pengelolaan keuangan desa dari perencanaan sampai dengan laporan dan pertanggungjawaban agar pemerintah desa lebih mudah dalam menyusun rencana guna melaksanakan program-program desa dan mampu melaporkan pelaksanaan pembangunan desa dengan akuntabel, transparan dan partisipatif
  3. Perlu adanya petunjuk umum dan pedoman teknis tentang mekanisme rekrutmen, code of conduct, evaluasi kinerja bagi pendamping desa agar mendapatkan pendamping professional yang berkompeten dibidangnya, hasil evaluasi memberikan apakah pendamping tersebut layak dilanjutkan atau bahkan terputus kontrak kerjanya, serta juga penerapan sanksi atau hukuman bagi pendamping profesional yang lalai atau melanggar hukum. 
  4. Dalam konteks kegiatan pemantauan, pengawasan dan evaluasi yang terbaik adalah yang dilakukan sendiri baik melalui kelembagaan masyarakat maupun masyarakat desa itu sendiri. Dalam hal ini masyarakat desa adalah pemilik proses dari suatu kegiatan program sekaligus yang paling merasakan dampak langsung dari pembangunan desa. Salah satu upaya pendampingan masyarakat dalam aspek pengawasan program adalah kegiatan eksternal monitoring melalui pengawasan dan pemantauan berbasis masyarakat yaitu sebuah bentuk pendampingan masyarakat dalam menggerakkan masyarakat agar lebih peduli pada pelaksanaan pembangunan di wilayah desanya. Dalam rangka menumbuhkan kepedulian masyarakat diperlukan rangsangan (stimulan), melalui pembimbingan dan pelatihan sehingga aktivitas masyarakat yang peduli mempunyai ruang gerak yang lebih luas sekaligus memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan.

DAFTAR REFERENSI

Agusta, Ivanovich, 2015a, "Memandirikan Keuangan Desa", Kompas, 4 April, hal. 7. 2015b, "Desa Tahun Pertama", Kompas,13  Juli, hal. 6.

Muhammad, Farouk, 2015, "Menjaga Momentum UU Desa", Kompas, 3 Juli, hal. 6. Padjung, Rusnadi, 2015, "Khawatir Dana Desa Dikorupsi",Kompas, 6 Juli, hal. 7.

Pengelolaan keuangan desa pasca uu no. 6 tahun 2014 oleh : abdul muis, et al

cetakan 1 - jakarta : pusat intan lan, 2015 xii, 28 hlm, 21 x 15 cm.

Penabulu alliance strengthening Indonesia civil society – www.Keuangandesa.com artikel presentasi siklus keuangan desa.

Modul pelatihan pendamping lokal desa – Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT)

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa;

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa;

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 81 Tahun 2015 tentang Evaluasi Perkembangan Desa dan Kelurahan;

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa;

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa;

Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa;

Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa;

Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa;

Peraturan Menteri Keuangan No. 247/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa;

Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa;

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) No. 3 Tahun 2014 tentang Pendampingan Desa

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) No. 21 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) No. 8 Tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan menteri desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi nomor 21 tahun 2015 tentang penetapan prioritas penggunaan dana desa tahun 2016

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes PDTT) No. 2 Tahun 2016 tentang Indek Desa Membangun

Perka LKPP no 13 tahun 2013 tentang Pedoman Tata cara Pengadaan Barang / Jasa di Desa;

Perka LKPP no 22 tahun 2015 tentang perubahan Perka LKPP no 13 tahun 2013 tentang Pedoman tata cara Pengadaan  Barang / Jasa di Desa.

Sjaf, Sofyan, 2015, "Menjawab Kekhawatiran Dana Desa", Kompas, 25 Juni, hal. 7.

Sudjatmiko, Budiman, 2015, "Revolusi Desa", Kompas, 10 Juli, hal. 7.