Detail Interest Area

SISTEM PENGENDALIAN INTERN KEUANGAN DESA

Sumber : M.Khoiru Rusydi


SISTEM PENGENDALIAN INTERN KEUANGAN DESA

M.Khoiru Rusydi

Abstraksi

Artikel ini bertujuan memberikan gambaran tentang mekanisme pengendalian internal keuangan desa, artikel ini disusun berdasarkan hasil diskusi dengan sekretaris desa di wilayah propinsi Jawa Timur. Artikel ini memberikan solusi perlu adanya peraturan bupati/walikota tentang sistem pengendalian internal keuangan desa yang mengakomodasi adanya mekanisme pengawasan dan pengendalian internal sejak penyusunan rencana anggaran sampai dengan mekanisme pelaporan keuangan desa. Mekanisme pengendalian internal ini merupakan sarana pencegahan tindakan korupsi dan juga meminimalisir adanya kerugian Negara.

Kata Kunci: Pengendalian Internal, Korupsi, Mekanisme Keuangan Desa

PENDAHULUAN

     Seiring terbitnya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa membawa banyak perubahan dalam berbagai sendi kehidupan desa, baik dari segi kesejahteraan masyarakatnya dan juga kesiapan aparatur desanya. Pada roadmap dana desa hingga tahun 2019, diperkirakan tiap desa di Indonesia akan menerima dana desa dengan rata-rata sebesar Rp 1,5 milliar. Tentunya dana sebesar itu bukan hal yang mudah bagi desa dalam pengelolaannya, semakin besar dana yang di terima desa juga semakin tingginya resiko desa khusunya aparat desa dalam pengelola dana desa.

     Dana yang besar bagi penyelenggaraan pemerintahan desa tentu berdampak pada banyak dan luasnya cakupan kegiatan pemerintah desa, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, pengawasan hingga evaluasi. Maka untuk dapat mewujudkan tata kelola penyenggaraan pemerintah desa yang baik tersebut diperlukan suatu sistem yang dapat mengendalikan seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa agar sesuai dengan tujuan pembangunan desa tanpa adanya aturan-aturan yang di langgar.

     SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) bagi desa merupakan salah satu mekanisme pengendalian yang bisa di terapkan dalam pengelolaan keuangan desa, SPIP adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP mewajibkan menteri/pimpinan lembaga, gubernur dan bupati/walikota untuk melakukan pengendalian terhadap penyelenggaraan kegiatan pemerintahannya.

   Tindakan pengendalian diperlukan dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) terhadap pencapaian efektivitas, ekonomis dan efisiensi dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan desa. Pengendalian intern akan menciptakan keandalan pelaporan keuangan desa, pengamanan aset desa dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam penyelenggaraan pemerintah desa. Tujuan akhir sistem pengendalian intern ini adalah untuk mencapai efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa.

    Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menghendaki dalam pelaksanaan pengawasan sampai dengan pertanggungjawaban harus dilaksanakan dengan tertib, terkendali serta efisien dan efektif, untuk itu diperlukan adanya sistem yang dapat memberikan keyakinan yang memadahi bagi tercapainya tujuan penyelenggaraan Pemerintah desa dalam pengelolaan keuangan, pengamanan aset desa dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

    Berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) terdiri dari lima unsur, yaitu: Lingkungan pengendalian; Penilaian resiko; Kegiatan pengendalian; Informasi dan Komunikasi dan Pemantauan pengendalian intern. Kelima unsur pengendalian intern merupakan unsur yang terjalin erat satu dengan yang lain. Proses pengendalian menyatu pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai dalam pemerintah desa.

SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PEMERINTAH DESA

     Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa dalam Pasal  55 menyebutkan bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD)  mempunyai fungsi melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Kemudian dalam Pasal 112  menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota  membina  dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

     Pengawasan yang ada dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa masih berada dalam kisaran pengawasan eksternal dan juga belum menyentuh mekanisme pengendalian internal sebagaimana di amanatkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 pasal pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa pengatur dan penyelenggara sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) untuk mengelola transparansi keuangan negara adalah kepala pemerintahan. Dan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa pemegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar berada di tangan presiden. Karena itu selaku kepala pemerintahan, presiden wajib melaksanakan SPIP di seluruh organisasi pemerintahan.

    Sistem pengendalian internal pemerintah mulai berjalan seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, dimana terdapat 5 (lima) unsur dalam SPIP yaitu:

  1. Lingkungan Pengendalian.
    Unsur lingkungan pengendalian sebagai fundamen SPIP karena unsur ini merupakan pencerminan integrasi antara kualitas kepemimpinan, sumber daya manusia, dan metode kerja yang membentuk suasana/gaya (sets the tone) organisasi. Menurut PP Nomor 60 Tahun 2008, lingkungan pengendalian sebagaimana dimaksud diciptakan oleh pimpinan instansi pemerintah melalui:
    a) Penegakan integritas dan nilai etika.
    b) Komitmen terhadap kompetensi.
    c) Kepemimpinan yang kondusif.
    d) Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan.
    e) Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat.
    f) Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia.
    g) Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif.
    h) Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.
  2. Penilaian Risiko
    Unsur pengendalian intern yang kedua adalah penilaian risiko. Penilaian risiko diawali dengan penetapan maksud dan tujuan Instansi Pemerintah yang jelas dan konsisten baik pada tingkat instansi maupun pada tingkat kegiatan. Selanjutnya Instansi Pemerintah mengidentifikasi secara efisien dan efektif risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan tersebut, baik yang bersumber dari dalam maupun luar instansi. Terhadap risiko yang telah diidentifikasi dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan. Pimpinan Instansi Pemerintah merumuskan pendekatan manajemen risiko dan kegiatan pengendalian risiko yang diperlukan untuk memperkecil risiko.
    Penilaian risiko dimaksud terdiri dari (Pasal 13 ayat 2 PP Nomor 60 Tahun 2008):
    a) Identifikasi risiko
    b) Analisis risiko
    Penilaian risiko tersebut dilakukan terhadap tujuan-tujuan yang ditetapkan pada instansi pemerintah hingga tujuan suatu kegiatan berkaitan dengan proses pengelolaan keuangan oleh instansi pemerintah
  3. Kegiatan Pengendalian
         Unsur sistem pengendalian intern yang ketiga adalah kegiatan pengendalian. Kegiatan pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang dapat membantu memastikan dilaksanakannya arahan pimpinan Instansi Pemerintah untuk mengurangi risiko yang telah diidentifikasi selama proses penilaian risiko. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai tercapai tidaknya suatu lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat.  Kegiatan pengendalian yang diterapkan dalam suatu Instansi Pemerintah dapat berbeda dengan yang diterapkan pada Instansi  Pemerintah lain. Penerapan kegiatan pengendalian sekurang-kurangnya memiliki karakteristik sebagai berikut (Pasal 16 ayat 2 PP Nomor 60 Tahun 2008):
    a) kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah;
    b) kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko;
    c) kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah;
    d) kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis;
    e) prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis; dan
    f) kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.
  4. Komunikasi dan Informasi
         Unsur pengendalian intern keempat adalah informasi  dan komunikasi. Instansi Pemerintah harus memiliki informasi yang relevan dan dapat diandalkan baik informasi keuangan maupun nonkeuangan, yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa eksternal serta internal. Informasi tersebut harus direkam dan dikomunikasikan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan lainnya di seluruh Instansi Pemerintah yang memerlukannya dalam bentuk serta dalam kerangka waktu, yang memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan pengendalian intern dan tanggung jawab operasional.
          Komunikasi dan informasi wajib diselenggarakan dengan efektif dan untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif maka pimpinan instansi pemerintah harus menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi serta mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus (Pasal 42 PP Nomor 60 tahun 2008).
  5. Pemantauan
         Pemantauan merupakan unsur pengendalian intern yang kelima atau terakhir. Pemantauan Sistem Pengendalian Intern dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang  terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern yang dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah dengan menggunakan daftar uji  pengendalian intern.
        Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan. Pemantauan Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya (Pasal 43 PP Nomor 60 Tahun 2008).

Risiko dan Pengendalian Pengelolaan Keuangan Desa
     Pengelolaan keuangan desa dalam beberapa tahun ini mengalami beberapa perubahan, baik dari segi besarnya dana yang di kelola maupun dari mekanisme pengelolaannya. Semakin meningkatnya pengelolaan dana desa tentunya juga diiringi dengan meningkatnya risiko dalam pengelolaan dana desa. Risiko-risiko itu dapat dikategorikan sebagai risiko bisnis dan risiko kecurangan/fraud (Wibowo Tri, 2015).

     Risiko Keuangan Desa Tingkat Entitas Beberapa Risiko yang dapat terjadi dalam pengelolaan keuangan desa tingkat entitas pemerintahan desa antara lain: (1) Program dan Kegiatan pada RPJMDes, RKPDes, dan APBDes tidak sesuai aspirasi/kebutuhan masyarakat desa. Risiko ini merupakan penetapan program dan kegiatan yang mengedepankan kepentingan golongan atau kelompok tertentu, bukan kepentingan rakyat banyak. (2). Dokumen RPJMDes, RKPDes, dan APBDes yang tidak sinkron dan selaras, hal ini merupakan kegagalan dalam dokumen perencanaan yang disusun tanpa melakukan reviu terhadap dokumen yang saling terkait. (3)  Kegagalan menyelenggarakan Siklus Pengelolaan Keuangan Desa yang sesuai ketentuan, Sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Keuangan Desa, dan Permendagri No 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, siklus keuangan desa meliputi perencanaan (MusrenbangDes, RPJMDes - setiap 6 tahun, RKPDes), penganggaran (APBDes), Pelaksanaan, Pelaporan (Laporan Realisasi APBDes Semester 1 & 2), dan Pertanggungjawaban (Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa). (4). Kegagalan atau keterlambatan penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa, termasuk Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDes. Risiko ini berupa penyusunan laporan yang tidak tepat waktu atau tidak tepat kualitas (understandard). Penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang berkualitas merupakan salah satu bentuk akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Kegagalan ini akan mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa dalam pengelolaan keuangannya. (4). Pengelolaan Aset Desa yang tidak efisien dan efektif, risiko ini berupa pengelolaan aset desa (kantor, tanah desa, jalan, pasar desa, paralatan, dan sebagainya) yang tidak sesuai peruntukannya, kesalahan dalam perencanaan pengadaan barang dan jasa desa atau kesalahan mengoperasionalkan aset. Kegagalan dalam pengelolaan aset desa akan mengakibatkan pemborosan keuangan desa dan pada akhirnya sasaran pembangunan desa tidak tercapai juga.

     Risiko Fraud Beberapa risiko kecurangan (fraud) yang dapat terjadi dalam pengelolan keuangan desa, antara lain : (1). Penggunaan Kas Desa secara tidak sah, risiko ini merupakan penggunaan kas desa secara tidak sah oleh aparat atau pihak lainnya. Pencurian merupakan salah satu bentuk kecurangan yang menimbulkan kerugian keuangan desa hingga mengurangi kemampuan pemerintah desa dalam menjalankan tugas dan fungsinya. (2). Mark up dan atau Kick Back pada Pengadaan Barang/Jasa yang menimbulkan meninggikan harga beli barang/jasa dari harga wajarnya, dan selanjutnya ada pengembalian sejumlah kas kepada aparat terkait merupakan bentuk kecurangan yang sudah sering terjadi. (3). Penggunaan Aset Desa untuk kepentingan pribadi Aparat Desa secara tidak Sah, berupa sarana kantor, tanah desa, peralatan kantor ataupun kendaraan kantor seharusnya digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan desa. Namun seringkali, peralatan tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, atau bahkan dimiliki secara tidak sah. Ini risiko yang juga sering terjadi pada institusi yang sistem pengendaliannya belum matang seperti pada umumnya pemerintahan desa. Hal ini dapat menganggu operasional institusi. (4). Pungutan Liar pada Layanan Desa, pungutan liar adalah pungutan tidak sah yang dikenakan kepada masyarakat atas layanan yang diberikan oleh instansi pemerintah. Pada instansi pemerintah yang masih kuat budaya ‘memberi tip’, hal ini menjadi risiko yang sangat tinggi kemungkinan terjadinya. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya komplain, bahkan menimbulkan kekisruhan dalam pelayanan pada masyarakat.

PEMBAHASAN

Sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) pada Pemerintah Desa dilaksanakan dengan tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan.

  1. Tahap Persiapan
    1. Pembentukan Satuan Tugas Penyelenggaraan SPIP
      Dalam penyelenggaraan SPIP, setiap Kepala Desa perlu membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penyelenggaraan SPIP. Satgas tersebut bertugas untuk mengkoordinasikan pelaksanaan seluruh tahapan penyelenggaraan SPIP dan memfasilitasi seluruh kebutuhan atas pedoman dan materi yang diperlukan untuk melaksanakan SPIP. Dengan kata lain, satgas bertugas untuk mengawal seluruh tahapan penyelenggaraan SPIP, berkoordinasi dengan Satgas Pembinaan Penyelenggaraan SPIP.
    2. Pemahaman/Knowing
      Pemahaman/knowing adalah tahap untuk membangun kesadaran (awareness) dan persamaan persepsi. Kegiatan ini dimaksudkan agar setiap individu mengerti dan memiliki persepsi yang sama tentang SPIP. Materi yang perlu dipahami dalam tahap ini meliputi:
      1) Pentingnya SPIP sebagai sarana pengendalian berkelanjutan dan perangkat pengamanan dalam proses pencapaian tujuan;
      2) Perkembangan sistem pengendalian intern di Indonesia sampai saat ini;
      3) Pengertian SPIP;
      4) Uraian unsur dan subunsur SPIP;
      5) Penjelasan perbedaan antara Waskat dengan SPIP ditinjau dari faktor definisi, sifat, kerangka pikir (framework), tanggung jawab, keberadaan, dan penekanan;
      6) Penjelasan peranan BPKP dalam SPIP menurut pasal 49 ayat 2; pasal 54 ayat 2 dan 3; pasal 57 ayat 4; pasal 59 ayat 1 dan 2.

      Pemahaman/knowing dapat dilakukan melalui:
      1) Sosialisasi
      Sosialisasi diberikan oleh Satgas Penyelenggaraan SPIP di Pemerintah Desa yang bersangkutan atau Satgas Pembinaan Penyelenggaraan SPIP. Metode yang digunakan bergantung pada kebutuhan unit tersebut, antara lain:
      a) Pelatihan di Kantor Sendiri (PKS) dan tanya jawab
          Metode ini membutuhkan interaksi yang lebih rendah dan digunakan apabila pemahaman peserta terhadap SPIP masih relatif rendah;
      b) Diskusi panel atau seminar
          Metode ini digunakan apabila pemahaman peserta sudah relatif tinggi karena membutuhkan interaksi yang lebih tinggi

      2) Diklat SPIP
           Unit kerja dapat mengikutkan peserta ke dalam diklat yang diadakan oleh Satgas Pembinaan Penyelenggaraan SPIP atau menyelenggarakan diklat tersendiri. Dalam hal penyelenggaraan diklat tersendiri, unit kerja harus bekerja sama dengan Pusdiklatwas BPKP dan Satgas Pembinaan Penyelenggaraan SPIP..

      3) Focus group discussion (FGD)
           Kegiatan ini bertujuan untuk membangun persamaan persepsi diantara seluruh aparatur desa setelah mendapat sosialisasi SPIP. FGD dipandu oleh Satgas Penyelenggaraan yang bertindak sebagai fasilitator. Fasilitator FGD bertugas untuk:
      a) Memandu diskusi;
      b) Menyiapkan materi diskusi yang diarahkan pada pemahaman berbagai unsur SPIP, termasuk subunsur, butir-butir, dan hal- hal yang tercantum dalam daftar uji; serta
      c) Memberi contoh penyelenggaraan masing-masing unsur.

      4) Diseminasi
          Diseminasi berbagai informasi yang terkait dengan SPIP dilakukan dengan menggunakan media internet dan multimedia.

    3. Pemetaan
           Pemetaan adalah tahap diagnosis awal yang dilakukan sebelum penyelenggaraan SPIP. Pemetaan dimaksudkan untuk mengetahui kondisi pengendalian intern pada pemerintah desa, yang mencakup keberadaan kebijakan dan prosedur, serta implementasi dari kebijakan dan prosedur tersebut terkait penyelenggaraan subunsur SPIP. Data untuk pemetaan dapat diperoleh melalui penyebaran kuesioner atau melalui penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD). Data tersebut perlu diuji validitasnya melalui uji silang dengan melakukan wawancara, reviu dokumen secara sepintas (walkthrough test), dan observasi.

      Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap:
      1) Subunsur SPIP yang telah diterapkan;
      2) Subunsur SPIP yang penerapannya belum memadai;
      3) Subunsur SPIP yang belum diterapkan.

      Hasil pemetaan dituangkan dalam peta sistem pengendalian intern, yang memuat hal-hal yang perlu diperbaiki (areas of improvement/AOI). Pedoman yang digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pemetaan adalah pedoman pemetaan yang dikeluarkan oleh Satgas Pembinaan Penyelenggaraan SPIP.

    4. Penyusunan Rencana Kerja Penyelenggaraan SPIP
           Dalam rangka penyelenggaraan SPIP, perlu disusun rencana kerja penyelenggaraan/ pengembangan SPIP dengan memerhatikan karakteristik organisasi yang meliputi kompleksitas organisasi, SDM, dan perspektif pengembangannya. Untuk dapat menyusun rencana kerja SPIP tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu fungsi dan tujuan organisasi. Selanjutnya, unit kerja perlu mendefinisikan/operasionalisasi SPIP sesuai dengan fungsi dan tujuan organisasi. Berdasarkan operasionalisasi SPIP tersebut ditetapkan tujuan, lingkup kerja, prioritas, dan strategi pengembangan SPIP.
  2. Pelaksanaan
         Tahap pelaksanaan merupakan tahap penyelenggaraan SPIP di unit kerja dengan mempertimbangkan areas of improvement (AOI) yang dihasilkan pada saat pemetaan. Tahap pelaksanaan terdiri atas tiga tahapan, yaitu pembangunan infrastruktur (norming), internalisasi (forming) dan pengembangan berkelanjutan (performing).
    1. Pembangunan Infrastruktur (norming)

           Infrastruktur meliputi segala sesuatu yang digunakan oleh organisasi untuk tujuan pengendalian, seperti kebijakan, prosedur, standar, pedoman, yang dibangun untuk melaksanakan kegiatan. Pembangunan infrastruktur mencakup kegiatan untuk membangun infrastruktur maupun memperbaiki infrastruktur yang ada sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang diungkap dalam AOI. Untuk mendapatkan skala prioritas penanganan, tim penyelenggara dapat melakukan penilaian risiko terhadap AOI. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi tujuan dan aktivitas utama organisasi, yang selanjutnya dinilai risikonya, dan ditetapkan skala prioritas penanganannya. Berdasarkan skala prioritas tersebut, unit kerja dapat menyusun kebijakan pendukung penyelenggaraan SPIP, dilengkapi dengan pedoman penyelengga-raan sub-subunsur SPIP. Selanjutnya, unit kerja yang bertanggung jawab atas area yang dibangun/diperbaiki membentuk tim untuk menyusun kebijakan dan prosedur penyelenggaraan SPIP. Infrastruktur yang terbangun kemudian dikomunikasikan kepada seluruh pegawai dan diadministrasikan/didokumentasikan.

    2. Internalisasi (forming)
           Internalisasi adalah proses yang dilakukan unit kerja untuk membuat kebijakan dan prosedur menjadi kegiatan operasional sehari-hari yang ditaati oleh seluruh pejabat dan pegawai. Untuk memastikan implementasi kebijakan, prosedur dan pedoman dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diinginkan, unit kerja dapat membuat pelatihan untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas seluruh personil dalam melaksanakan kebijakan, prosedur dan pedoman tersebut. Pelaksanaan kebijakan, prosedur, dan pedoman tersebut perlu mendapat supervisi oleh pejabat unit kerja yang bersangkutan. Masukan dari pejabat/pegawai tersebut dapat dijadikan dasar dalam melakukan perbaikan dan penyempurnaan.

    3. Pengembangan Berkelanjutan (performing)

      Setiap infrastruktur yang ada harus tetap dipelihara dan dikembangkan secara berkelanjutan agar tetap memberikan manfaat yang optimal terhadap pencapaian tujuan organisasi.

      Tahap ini memanfaatkan hasil proses pemantauan penyelenggaraan SPIP. Kegiatan pemantauan dilaksanakan oleh setiap tingkat pimpinan di unit kerja agar setiap penyimpangan yang terjadi dapat segera diidentifikasi untuk dilakukan tindakan perbaikannya.

      Pemantauan dilakukan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, tindak lanjut hasil audit. Kegiatan ini menghasilkan laporan hasil pemantauan atau evaluasi. Pemantauan juga dapat dilakukan melalui penilaian sendiri (self assessment). Penilaian sendiri adalah sarana untuk melibatkan manajemen dan semua pegawai secara aktif dalam evaluasi dan pengukuran efektivitas sistem pengendalian intern.

      Saran yang dihasilkan saat pemantauan dapat berupa:
      1) Perlunya penyempurnaan sistem, pejabat terkait harus menyempurnakan dan menyosialisasikan penyempurnaan sistem kepada seluruh pegawai untuk memperlancar tahapan internalisasi;
      2) Terkait dengan implementasi infrastruktur yang tidak memadai akibat rendahnya kompetensi, pejabat terkait harus segera melakukan tindakan peningkatan kompetensi pegawai.
  3. Pelaporan
    Dalam rangka pengadministrasian kegiatan SPIP, perlu disusun laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan SPIP. Laporan penyelenggaraan SPIP disusun untuk seluruh tahapan penyelenggaraan SPIP, yang antara lain memuat:
    1. Pelaksanaan kegiatan, menjelaskan persiapan dan pelaksanaan kegiatan serta tujuan pelaksanaan kegiatan pada setiap tahapan penyelenggaraan;
    2. Hambatan kegiatan, menguraikan hambatan pelaksanaan kegiatan yang berakibat pada tidak tercapainya target kegiatan tersebut;
    3. Saran perbaikan, berisi saran untuk mengatasi hambatan agar permasalahan tersebut tidak terulang dan saran dalam upaya peningkatan pencapaian tujuan;
    4. Tindak lanjut atas saran pada periode sebelumnya.

SIMPULAN

Pentingnya sistem pengendalian internal bagi Pemerintah Desa dalam meminimalisir risiko dalam pengelolaan keuangan, sehingga diharapkan Pemerintah Desa dapat membentuk satgas SPIP yang pelaksanaanya terdiri dari tiga tahap yaitu; persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan

SARAN

  1. Dibutuhkan perubahan paradigma mekanisme pengendalian internal bagi apartur desa, sehingga dalam pengelolaan keuangan desa dapat meminimalisir segala risiko yang akan terjadi dalam pengelolaan keuangan sejak perencanaan hingga pelaporan.
  2. Dibutuhkan adanya peraturan bupati maupun peraturan desa yang mengatur adanya pelaksanaan system pengendalian internal bagi pemerintah desa, sehingga implementasi SPIP dalam pengelolaan keuangan desa dapat berjalan secara efektif dan efisien.

DAFTAR REFERENSI

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun2014 Tentang Desa

Wibowo Tri, 2015, Risiko Pengelolaan Keuangan Desa dan Peran APIP, Warta Pengawasan,vol. xxII/Edisi HUT ke - 70 ri 2015