Detail Interest Area

PERAN BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes) DALAM MENDUKUNG KEMANDIRIAN EKONOMI DESA

Sumber : Mirna Amirya


PERAN BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes) DALAM MENDUKUNG KEMANDIRIAN EKONOMI DESA

Mirna Amirya

Abstraksi

     Penelitian ini berfokus pada peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam mendukung kemandirian ekonomi desa. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi pustaka (library research). Sumber data berasal dari dokumen-dokumen. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis model interaktif Miles and Huberman yaitu mereduksi data, menyajikan data, serta menarik kesimpulan.

     Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran BUMDes mendukung kemandirian ekonomi desa, yaitu, peran BUMDes terkait aspek pelayanan berimplikasi terhadap kemandirian ekonomi desa, peran BUMDes terkait aspek akuntabilitas berimplikasi terhadap meningkatnya Pendapatan Asli Desa, peran BUMDes terkait aspek peningkatan taraf hidup berimplikasi terhadap pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pedesaan, peran BUMDes terkait aspek ketaatan peraturan perundang-undangan berimplikasi dalam kemampuan dalam pengelolaan potensi desa.

Kata Kunci: BUMDes, Peran BUMDes, Pemberdayaan Masyarakat, Partisipasi Masyarakat, Kemandirian Ekonomi Desa


PENDAHULUAN

     Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan beberapa tujuan negara Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesejahteraan umum atau kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan jika kemiskinan dapat dikurangi, sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan umum dapat dilakukan melalui upaya penanggulangan kemiskinan. Masalah kemiskinan dan kesenjangan ini secara ekonomi, baik antar golongan maupun antar wilayah (perdesaan dan perkotaan) sangat menarik untuk dibahas. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di perdesaan, maka perlu diprioritaskan pembangunan untuk perbaikan perekonomian desa dan yang nantinya dapat meningkatkan kemandirian masyarakat serta mengentaskan kemiskinan. Dalam pengentasan kemiskinan, Negara Indonesia memiliki bermacam strategi salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat yaitu dengan memaksimalkan masyarakat lokal.

     Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya atau kemampuan yang dimiliki. Dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan konsep kebutuhan masyarakat.

     Pada era reformasi tahun 1999 diterbitkan UU 22/1999 (pasal 108) – penerbitan peraturan ini merupakan solusi perubahan dari Pemerintah - yaitu mendorong pembentukan badan usaha atau lembaga yang digunakan untuk mengelola sumber dayanya secara efisien. Lalu diperjelas oleh PP 72/2005 (pasal 78 ayat 1) yang menyatakan bahwa “Dalam peningkatan pendapatan masyarakat dan desa, Pemerintahan Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa” karena desa perlu suatu lembaga untuk mengelola potensinya untuk meningkatkan perekonomian, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakat desa. Pembentukan BUMDes juga diamanatkan dalam UU 6/2014 tentang Desa.

    Secara umum, pendirian BUMDes melalui empat tahapan; Pertama, pemerintah desa dan masyarakat bersepakat mendirikan BUMDes, lalu diadakan pengelolaan BUMDes dan penetapan persyaratan pemegang jabatan, diadakan pula monitoring dan evaluasi, dan yang terakhir diadakan pelaporan pertanggungjawaban pengelola. Dalam kegiatan harian maka pengelola harus mengacu pada tata aturan yang sudah disepakati bersama sebagaimana yang telah tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) BUMDes, serta sesuai prinsip-prinsip tata kelola BUMDes.

     Ketimpangan dalam pelaksanaannya dan hasil yang tidak merata tidak bisa lepas dari perkembangan program BUMDes. Banyak BUMDes yang gagal, namun banyak pula BUMDes yang berhasil dan mandiri. Sebagai contoh, keberhasilan BUMDes yang tercapai seperti BUMDes Desa Sukamaju, Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2012 lalu yang memperoleh keuntungan sebesar Rp 263,815 juta dengan jumlah deviden sebesar Rp 79,115 juta untuk desa. Kontribusi dari BUMDes tersebut hampir sama besarnya dengan jumlah Alokasi Dana Desa (ADD) yang dialokasikan setiap tahun oleh pemerintah melalui APBD (Nugraha, 2014). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat secara umum tentang peran BUMDes dalam mendukung kemandirian ekonomi desa.

TINJAUAN PUSTAKA

  1. BUMDes dan Peran BUMDes

    Pengertian BUMDes atau Badan Usaha Milik Desa menurut Permendagri No. 39 Tahun 2010 tentang BUMDes adalah usaha desa yang dibentuk/didirikan oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat. BUMDes adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa dapat mendirikan badan usaha sesuai dengan potensi dan kebutuhan desa. Dijelaskan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa bahwa untuk meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat, pemerintah desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Hal tersebut berarti pembentukan BUMDES didasarkan pada kebutuhan, potensi, dan kapasitas desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan dan pembentukan BUMDES adalah atas prakarsa masyarakat desa.

    BUMDes didirikan berdasarkan kebutuhan dan potensi desa yang merupakan prakarsa masyarakat desa. Artinya usaha yang kelak akan diwujudkan adalah digali dari keinginan dan hasrat untuk menciptakan sebuah kemajuan di dalam masyarakat desa.

    Peran BUMDes dalam penelitian ini ditinjau melalui beberapa aspek yang merupakan tujuan dari BUMDes itu sendiri berdasarkan PPP BUMDes (2007), yaitu: 1. Pelayanan–Keuntungan–Keberlangsungan; 2. Akuntabilitas–Perkembangan Aset Desa; 3. Peningkatan Taraf Hidup Pengurus–Komisaris–Masyarakat; 4. Ketaatan BUMDes terhadap peraturan dan Perundang–Undangan.

  2. Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat
    Untuk mencapai keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat, diperlukan adanya suatu pendekatan-pendekatan dalam pemberdayaan (Sumaryadi, 2005), yaitu: 1. The Welfare Approach: Pendekatan ini mengarah pada pendekatan manusia dan bukan untuk memberdayakan masyarakat dalam menghadapi proses politik dan kemiskinan masyarakat, tetapi justru untuk memperkuat keberdayaan masyarakat yang dilatarbelakangi oleh kekuatan potensi lokal masyarakat. 2. The Development Approach: Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan proyek pembangunan untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakat. 3. The Empowerment Approach: Pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan sebagai akibat dari proses politik dan berusaha memberdayakan rakyat untuk mengatasi ketidakberdayaan masyarakat.

  3. Pendekatan Partisipasi Masyarakat
    Menurut Club du Sahel dalam Mikkelsen (Dalam Miriam Budiardjo, 2004:31), beberapa pendekatan untuk memajukan partisipasi masyarakat yaitu: 1. Pendekatan pasif, pelatihan dan informasi; yakni pendekatan yang beranggapan bahwa pihak eksternal lebih menguasai pengetahuan, teknologi, keterampilan dan sumber daya. Dengan demikian partisipasi tersebut memberikan komunikasi satu arah, dari atas ke bawah dan hubungan pihak eksternal dan masyarakat bersifat vertikal. 2. Pendekatan partisipasi aktif; yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi secara lebih intensif dengan para petugas eksternal, contohnya pelatihan dan kunjungan. 3. Pendekatan partisipasi dengan keterikatan; masyarakat atau individu diberikan kesempatan untuk melakukan pembangunan, dan diberikan pilihan untuk terikat pada sesuatu kegiatan dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut. 4. Pendekatan dengan partisipasi setempat; yaitu pendekatan dengan mencerminkan kegiatan pembangunan atas dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat setempat.

  4. Strategi Partisipasi Masyarakat

    Strategi partisipasi masyarakat menurut Notoatmodjo (2007) adalah sebagai berikut: 1. Lembaga Sosial Desa atau Lembaga Kerja Pembangunan Masyarakat Desa (LKPMD) adalah suatu wadah kegiatan antar disiplin di tingkat desa dan kelurahan. Tugasnya adalah merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembangunan di kesehatan. Tenaga kesehatan dari puskesmas dapat memanfaatkan lembaga ini untuk menjual idenya, dengan memasukkan ide-idenya ke dalam program LKPMD. 2. Kegiatan non kesehatan yang akhirnya akan menyokong program kesehatan, misalnya; pertanian, peternakan, pendidikan, dan lain-lain. 3. Puskesmas dapat dijadikan pusat kegiatan, walaupun pusat perencanaannya adalah di desa (LKPMD), dan petugas kesehatan adalah merupakan motivator dan dinamisatornya. 4. Dokter puskesmas atau petugas kesehatan yang lain dapat membentuk suatu team work yang baik dengan dinas-dinas atau instansi-instansi lain. 5. Dalam pelaksanaan, program dapat dimulai desa demi desa tidak usah seluruh desa di kecamatan tersebut. Hal ini untuk menjamin agar puskesmas dapat memonitor dan membimbingnya dengan baik. Bilamana perlu membentuk suatu proyek percontohan sebagai pusat pengembangan untuk desa yang lain. 6. Bila desa ini masih dianggap terlalu besar, maka dapat dimulainya dari tingkat RW atau RT yang populasinya lebih kecil, sehingga mudah diorganisasi.

    Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa metode yang dapat dipakai pada partisipasi masyarakat sebagai berikut: 1. Pendekatan Masyarakat: diperlukan untuk memperoleh simpati masyarakat, terutama ditunjukkan kepada pimpinan masyarakat baik secara formal dan informal. 2. Pengorganisasian masyarakat, dan pembentukan panitia (tim) a. Dikoordinasi oleh lurah atau kepala desa b. Tim kerja yang dibentuk tiap RT. 3. Survei Diri (Community Self Survey): melakukan survei dan diolah serta dipresentasikan kepada warganya masing-masing. 4. Perencanaan Program: dilakukan oleh masyarakat sendiri setelah mendengarkan presentasi survei diri dari tim kerja.dan memecahkan masalahnya. 5. Training: untuk para kader kesehatan sukarela harus dipimpin oleh dokter puskesmas. 6. Rencana Evaluasi: perlu ditetapkan kriteria-kriteria keberhasilan suatu program, secara sederhana dan mudah dilakukan oleh masyarakat atau kader kesehatan sendiri.

    Menurut Sastropoetro (1988), ada lima unsur penting yang menentukan gagal dan berhasilnya partisipasi, yaitu: 1. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif atau berhasil. 2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran. 3. Kesadaran yang didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan. 4. Kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain. 5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.

    Menurut Mikkelsen (2003), rendahnya partisipasi masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1. Adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat dan penolakan eksternal terhadap pemerintah. 2. Kurangnya dana. 3. Terbatasnya informasi, pengetahuan atau pendidikan masyarakat, dan 4. Kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat

  5. Konsep Kemandirian Ekonomi.

    Menurut Avilliani (2012) kemandirian ekonomi diartikan sebagai bangsa yang memiliki ketahanan ekonomi terhadap berbagai macam krisis dan tidak bergantung pada negara lain. Terkait dengan hal ini Aviliani menyampaikan beberapa kondisi Indonesia sebagai berikut: 1. Indonesia memiliki banyak potensi untuk menggerakan perekonomian nasional, baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya manusia (SDM). Contoh di bidang SDA adalah agro industri dan sektor riil. Pertanian menjadi penyedia lapangan kerja sebesar (40% dari total angkatan kerja), tetapi daya saing produk pertanian lemah. 2. Indonesia berhasil melewati krisis ekonomi global (2008) dengan baik, sejajar dengan Republik Cina (RRC) dan India melalui pertumbuhan ekonomi yang positif.

    Terdapat tiga solusi untuk meningkatkan jati diri dan kemandirian Ekonomi Bangsa, yaitu: 1. Efisiensi, pemerintah harus menjamin uang APBN dan APBD dikeluarkan dengan prinsip efisiensi 2. Ekspansi, perusahaan (BUMN) harus melakukan ekspansi pada sektor strategis dan menasionalisasi beberapa sektor, seperti migas diserahkan saja ke Pertamina. 3. Penetrasi pasar, dalam hal ini BUMN dan swasta lokal harus melakukan penetrasi pasar, agar tidak direbut negara lain.

    Kemandirian ekonomi dapat dimulai dari pembangunan ekonomi lokal terkait dengan sikap dan langkah pemerintah lokal dalam merancang dan melaksanakan Local Economic Development (LED) atau Pembangunan Ekonomi Lokal. Pernyataan ini, senada dengan pendapat Sarbini dalam Nugraha (2014) yang menyarankan perlunya reorientasi pembangunan sebagai berikut: 1. Pembangunan diprioritaskan ke perdesaan mengingat populasi terbesar masyarakat Indonesia berada di perdesaan. Pembangunan perkotaan lebih diarahkan untuk mendukung perekonomian perdesaan 2. Pengembangan kapasitas SDM perdesaan secara intens dan peningkatan produktivitas masyarakat melalui teknologi madya dan pemerataan penguasaan alat produksi 3. Pengembangan industrialisasi perdesaan yang berorientasi pemenuhan kebutuhan pasar domestik ataupun pasar luar 4. Penataan kembali usaha budidaya pertanian agar bisa memenuhi skala yang ekonomis.  Hal tersebut diperkuat oleh Department For International Development (2003) yang menyatakan bahwa LED berarti bekerja secara langsung membangun kekuatan ekonomi lokal suatu wilayah untuk memperbaiki ekonomi tersebut dan kualitas hidup masyarakat di masa depan.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hal ini dilakukan karena peneliti ingin memahami, mengamati, menggali, dan mengungkapkan secara lebih mendalam tentang peran BUMDes dalam mendukung kemandirian ekonomi desa.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles and Huberman. Analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman (1992) dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Lebih lanjut Miles dan Huberman mengklasifikasikan aktivitas dalam menganalisa data ke dalam tahapan sebagai berikut: data reduction, data display dan conclusion drawing/verification.

PEMBAHASAN

Peran BUMDes

Peran BUMDes Ditinjau dari Layanan-Keuntungan-Keberlangsungan

BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (sosial institution) dan komersial (commmercial institutions). Prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu ditekankan dalam menjalankan usahanya. Dengan demikian diharapkan keberadaan BUMDes mampu mendorong dinamisasi kehidupan ekonomi di pedesaan. Menurut PKDSP (2007), yang dimaksud dengan “usaha desa” adalah jenis usaha yang meliputi pelayanan ekonomi desa seperti: 1) usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha sejenis lainnya; 2) penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa; 3) Perdagangan hasil pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan agrobisnis; 4) Industri dan kerajinan rakyat.

Secara umum, layanan BUMDes telah dilaksanakan dengan profesional dan fleksibel. Kondisi ini dapat meningkatkan produktivitas masyarakat desa serta pengembangan usaha riil pada BUMDes sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih besar dan meningkatkan pendapatan. Selain pendapatan jasa dari usaha pinjam, usaha riil juga bisa memicu pertumbuhan sektor informal lainnya serta dapat mendorong kreativitas jiwa kewirausahaan masyarakat dalam berkarya. Keuntungan dari usaha-usaha riil yang dibentuk oleh BUMDes yang sesuai dengan potensi yang ada di desa, sehingga dapat memaksimalkan keunggulam dan keuntungan yang akan berdampak pada masyarakat sekitar sehingga dapat dijadikan sumber penghasilan bagi masyarakat yang mengelola usaha-usaha BUMDes.

Dari seluruh penjabaran sebelumnya, diketahui bahwa peran BUMDes yang baik dapat ditinjau dari hubungan antara layanan, keuntungan, dan keberlangsungannya. Kualitas layanan yang diberikan pada masyarakat sangat mempengaruhi aspek yang lain. Dari pelayanan yang baik akan memicu masyarakat untuk ikut berpartisipasi pada BUMDes, kenaikan jumlah nasabah juga akan mengakibatkan kenaikan pendapatan dan akhirnya keuntungan yang diperoleh juga akan mengalami kenaikan. Pendapatan dan keuntungan yang stabil dan terus meningkat akan menjaga keberlangsungan BUMDes itu sendiri. Namun, di sisi lain pelayanan BUMDes yang berazas kekeluargaan ini juga terkadang menimbulkan masalah, kemudahan–kemudahan yang diberikan pengurus BUMDes terkadang dinilai tidak sesuai standar operasional. Proses pengajuan pinjaman, pencairan dana, hingga pengembalian angsuran terkadang dilaksanakan tidak pada tempatnya walaupun segala transaksi tetap dicatat dalam pembukuan BUMDes. Kemudahan pinjaman dan layanan kekeluargaan memang merupakan tujuan utama BUMDes, namun akan lebih baik jika sebuah BUMDes memiliki batasan-batasan sehingga akan tercipta ketertiban administrasi, yang juga akan memicu ketertiban pembayaran oleh nasabah – nasabahnya.

Peran BUMDes Ditinjau dari Akuntabilitas-Perkembangan Aset Desa

Hayyuna, dkk (2014) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menyukseskan pembangunan di desa adalah dengan meningkatkan pendapatan desa. Besar kecilnya pendapatan desa dipengaruhi oleh strategi yang dilakukan oleh BUMDes dalam mengelola dan memaksimalkan aset-aset yang ada di desa. Hal ini sejalan dengan PP No. 72 tahun 2005 pasal 78 yang menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan badan usaha yang dibentuk dalam rangka meningkatkan pendapatan asli desa.

Menurut Hayyuna, dkk (2014), strategi-strategi yang dilakukan untuk meningkatkan aset desa yaitu melalui: Pertama, mengamati lingkungan yang hasilnya dapat mengetahui potensi kegiatan usaha apa yang sesuai untuk diterapkan di BUMDes. Adapun strategi yang dapat digunakan oleh BUMDes meliputi strategi pengembangan produk, penetapan harga, dan strategi keuangan. Kedua, Penyusunan strategi meliputi 1) Pengembangan Produk, 2) Penetapan Harga, 3) Strategi Keuangan. Ketiga, Pelaksanaan Strategi, yang dilakukan oleh BUMDes dapat berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan desa. Keempat, Evaluasi atau Kontrol, yang dilakukan oleh Kepala Desa dikarenakan Kepala Desa diberi wewenang oleh Pemerintah Daerah untuk mengawasi serta bertanggung jawab atas BUMDes di desa.

Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa strategi manajemen aset (peningkatan akuntabilitas) yang telah dilakukan oleh BUMDes telah berkontribusi sekaligus dapat meningkatkan pendapatan desa. Dari peningkatan akuntabilitas BUMDes yang dilakukan tersebut, aset desa dapat terselamatkan. Semua program bantuan dari pemerintah yang turun dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dijaga keberadaannya. Dengan BUMDes yang berperan sebagai wadah untuk program-program lainnya, maka diharapkan nantinya seluruh aset desa yang diperoleh bisa tercatat, dipertanggungjawabkan,  dan dikembangkan untuk menjaga keberlangsungan BUMDes itu sendiri.

Peran BUMDes Ditinjau dari Peningkatan Taraf Hidup Pengurus – Komisaris – Masyarakat

Mengacu pada salah satu tujuan BUMDes yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menumbuhkan perekonomian, maka dapat diidentifikasi salah satu peran BUMDes dapat ditinjau dari peningkatan taraf hidup pengurus, komisaris dan masyarakat. Dengan terbentuknya BUMDes di desa-desa tentunya akan berpengaruh pada pendapatan masyarakat yang ikut andil dalam pengelolaan BUMDes, yang hakikatnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa setempat. BUMDes diharapkan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakatnya, seperti halnya antara lain dapat menyerap tenaga kerja dari lingkungan desa setempat, sehingga menurunkan tingkat pengangguran di desa.

Selain pemberian dana yang teratur dari BUMDes untuk meningkatkan sumber daya manusia harus dilakukan juga pelatihan peningkatan kemampuan keterampilan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan pengurus yang nantinya ilmu dan wawasan tersebut dapat bermanfaat bagi pengurus dan dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan jika semakin profesional maka nantinya akan meningkatkan kualitas dan peran BUMDes, serta dapat menjaga keberlangsungan program BUMDes di desa tersebut.

Peran BUMDes Ditinjau dari Ketaatan pada Peraturan dan Perundang- undangan

Selain tiga tinjauan peran BUMDes yang telah dikemukakan sebelumnya, peran BUMDes yang lain ditinjau dari bagaimana BUMDes mentaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Seluruh aspek BUMDes diatur dalam perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah, kepatuhan pada standar operasional dapat menentukan baik atau buruknya perkembangan BUMDes. Secara sederhana ketaatan peraturan ini dapat digambarkan dengan pelaporan tahunan.

Pada pengelolaan BUMDes yang baik, undang-undang dan peraturan pemerintah menjadi acuan untuk menjaga keberlangsungan dan peran BUMDes agar tetap maksimal. Kepatuhan pengurus BUMDes terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku merupakan salah satu aspek tinjauan peran suatu BUMDes karena dengan pengelolaan yang sesuai prosedur akan didapat hasil maksimal yang dapat menguntungkan untuk BUMDes, tapi di sisi lain masyarakat juga terbantu dan pada akhirnya masyarakat mengalami peningkatan kesejahteraan dan pendapatan dari pengembangan perekonomiannya yang didukung oleh BUMDes di desa tersebut. BUMDes yang dikelola sesuai prosedur dan peraturan akan berjalan baik, dapat dilaporkan dan akan terus berkembang untuk ikut berpartisipasi mensejahterakan masyarakat desa.

Pengelolaan BUMDes telah dilakukan sesuai standar operasional, pelaporan keuangan, pelayanan, pembagian SHU, penetapan bunga dan standar persyaratan peminjaman dana telah dilaksanakan sesuai peraturan. Namun seringkali kredit macet tetap dialami karena nasabah tidak mampu mengembalikan dana pinjaman, hal ini disebabkan karena standar operasional dalam pelayanan dilaksanakan berazaskan kekeluargaan dan jaminan kepercayaan, sehingga kemampuan nasabah hanya akan bisa dinilai melalui data historis ketika nasabah telah mampu mengembalikan dana pinjaman.

Peran BUMDes dalam mendukung kemandirian ekonomi desa

Peran BUMDes dalam Meningkatkan Perekonomian Desa

Dalam hal peran pelayanan BUMDes, diketahui terdapat perbedaan layanan antara BUMDes dan lembaga keuangan mikro lainnya di desa. Pelayanan BUMDes lebih menitikberatkan kemudahan dengan asas kekeluargaan dan kepercayaan untuk para nasabahnya. Sedangkan pada lembaga keuangan mikro lain, proses pinjaman harus dilaksanakan dengan baik dan sesuai prosedur, tanpa ada pengecualian. Selain itu ditemukan bahwa layanan di BUMDes dilaksanakan dengan profesional dan fleksibel, prosedur yang digunakan lebih ringkas sehingga tidak membebani nasabahnya, kemudahan–kemudahan pada persyaratan pinjamannya serta tingkat bunga yang relatif rendah.

Dalam hal Peran Keuntungan BUMDes, ditemukan bahwa keuntungan atau pendapatan BUMDes juga dipengaruhi oleh pendapatan yang diterima dari usaha BUMDes yang lain seperti usaha-usaha riil yang dikelola oleh BUMDes tersebut. Usaha BUMDes pun dapat dibentuk sesuai potensi yang ada didesa, sehingga dapat memaksimalkan keunggulan dan keuntungan. Perkembangan usaha riil BUMDes ini pun berdampak pada masyarakat sekitar, usaha ini dapat menjadikan sumber penghasilan bagi beberapa masyarakat yang mengelola usaha-usaha BUMDes.

Peningkatan Pelayanan, Keuntungan dan Keberlanjutan BUMDes memiliki pengaruh dalam Peningkatan Perekonomian Desa. Pelayanan yang dilakukan BUMDes dapat meningkatkan produktivitas para nasabahnya karena untuk mendapatkan pinjaman tidak diperlukan waktu yang lama dan proses yang berbelit-belit. Pada akhirnya produksi dapat segera dilakukan setelah bahan telah dibeli menggunakan uang pinjaman dari BUMDes tersebut.

Peran BUMDes dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa

Dalam hal peran Akuntabilitas BUMDes diketahui bahwa strategi manajemen aset (peningkatan akuntabilitas) yang telah dilakukan BUMDes telah berkontribusi sekaligus dapat meningkatkan pendapatan desa. Selain itu, BUMDes sudah dapat mewadahi program-program bantuan lainnya yang didapat dari pemerintah dan membantu mewadahi dana-dana program pemerintah yang masuk ke desa secara tidak langsung akan turut menjaga aset desa.

Melalui program BUMDes ini telah menyumbang Pendapatan Asli Desa (PADes) di mana strategi yang dilakukan dapat berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan desa. Sebagian besar BUMDes yang membawa dampak yang positif, contohnya yaitu dapat mewadahi program-program bantuan pemerintah, menjaga aset-aset program yang ada serta menjaga aset desa itu sendiri.

Meningkatnya PADes tersebut, ditemukan masih terdapat beberapa hambatan dalam pengelolaannya. Faktor penghambat dari segi manajemen aset yang dilakukan oleh BUMDes, yaitu mengenai kesulitan dalam melakukan perkembangan usaha baru, terbatasnya inovasi dalam mengembangkan produk lokal, kurangnya sarana dan prasarana, rendahnya pengawasan dari Pemerintah Daerah.

Peran BUMDes sebagai Tulang Punggung Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi Pedesaan

Diketahui bahwa peran BUMDes terkait Aspek Peningkatan Taraf Hidup Pengurus-Komisaris-Masyarakat dinilai berimplikasi terhadap Kemandirian Ekonomi Masyarakat khususnya dalam hal kemampuan sebagai tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pedesaan. Peran dalam Peningkatan Taraf Hidup Pengurus, Komisaris dan Masyarakat tersebut dinilai merupakan bentuk keberhasilan BUMDes menjadi Tulang Punggung Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi Perdesaan. Mengacu pada salah satu tujuan BUMDes yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menumbuhkan perekonomian, maka dapat diidentifikasi salah satu peran BUMDes dapat ditinjau dari peningkatan taraf hidup pengurus, komisaris dan masyarakat. Disediakan tunjangan dari hasil pengelolaan BUMDes, yang merupakan sumber penghasilan tambahan bagi para pengurus dan komisaris BUMDes, yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan masing-masing pengurus dan komisaris.

Selain kemampuan menjadi Tulang Punggung Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi Pedesaan yang dicapai BUMDes tersebut masih ditemukan kekurangan dalam pelaksanaannya, antara lain masih kurangnya sumber daya terdidik, terlatih dan profesional untuk mendukung diversifikasi usaha BUMDes pada sektor riil selain pada sektor simpan pinjam. Selain itu, peran yang baik akan meningkatkan pendapatan dan keuntungan BUMDes, secara otomatis pendapatan pengurus dan komisaris BUMDes akan meningkat.

Namun di sisi lain, manfaat tak langsung belum nampak, kurangnya minat, kemampuan, dan keberanian merupakan penyebab rendahnya jumlah masyarakat pekerja yang berani untuk berwirausaha sendiri sehingga baik dari pihak pengurus maupun pihak masyarakat masih kurang kesadaran dalam mewujudkan pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya di sektor riil dan usaha mikro.

Peran BUMDes dalam Meningkatkan Pengolahan Potensi Desa sesuai dengan Kebutuhan Masyarakat

Hasil penelitian ini ditemukan bahwa Peran BUMDes terutama Peran BUMDes terkait Aspek Ketaatan pada Peraturan Perundang-Undangan dinilai berimplikasi terhadap Kemandirian Ekonomi Masyarakat khususnya dalam hal Kemampuan dalam Pengolahan Potensi Desa Sesuai Dengan Kebutuhan Masyarakat. Pengelolaan BUMDes telah dilakukan sesuai standar operasional, pelaporan keuangan, pelayanan, pembagian SHU, penetapan bunga dan standar persyaratan peminjaman dana telah dilaksanakan sesuai peraturan.

Namun, terlepas dari capaian tersebut, dalam pelaksanaannya masih terjadi ketidakpahaman masyarakat tentang maksud dan tujuan didirikannya BUMDes ini. BUMDes yang harusnya berperan sebagai stimulan untuk menumbuhkembangkan swadaya masyarakat, justru menjadi tempat bergantung oleh segelintir masyarakat yang mengharapkan dana hibah dari pemerintah dan mengganggap dana tersebut tidak perlu dikembalikan karena merupakan hibah dari pemerintah.

Stabilitas pendapatan BUMDes tidak selalu baik, terkadang banyak masalah bermunculan seiring dengan perkembangannya, Mulai dari masalah di program simpan pinjam, sampai pada usaha riil BUMDes. Banyaknya kredit macet juga dialami mayoritas BUMDes, namun mengingat BUMDes membawa misi sosial dari pemerintah, tidak ada target ketepatan waktu dalam pengembalian modal usaha (dana pinjaman) seperti pada lembaga keuangan pada umumnya.

Selain masih ditemukannya pola pikir masyarakat yang kurang baik, yang membuat tingkat pengembalian dana menurun. Terkadang, terjadi juga kesalahpahaman antara pemerintah dengan pengelola BUMDes, yang menyebabkan berbagai masalah seperti kesalahan penggunaan dana hingga dana yang hilang karena sebab-sebab tertentu. Kesalahan prosedural pasti pernah dialami BUMDes dikarenakan penyaluran dana yang kurang tepat sasaran, sehingga nasabah tidak dapat mengembalikan dana pinjaman dan hasilnya banyak program tidak dapat berkembang dan mati di tengah jalan.

PENUTUP

Kesimpulan

BUMDes berperan dalam mendukung kemandirian ekonomi desa. Peran BUMDes terkait aspek pelayanan berimplikasi terhadap kemandirian ekonomi desa, peran BUMDes terkait aspek akuntabilitas berimplikasi terhadap meningkatnya Pendapatan Asli Desa, peran BUMDes terkait aspek peningkatan taraf hidup berimplikasi terhadap pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pedesaan, dan peran BUMDes terkait aspek ketaatan peraturan perundang-undangan berimplikasi dalam kemampuan dalam pengelolaan potensi desa.

Saran

Saran yang dapat diberikan di tiap aspek antara lain:

1. Peran Pelayanan, Keuntungan dan Keberlanjutan terkait standar operasional yang masih kurang baik, maka perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitas pelatihan-pelatihan manajemen dan administrasi untuk para pengelola atau pengurus juga dilakukan pengawasan dari pihak di Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), agar tetap tercipta standar pelayanan yang tetap fleksibel namun memiliki batasan-batasan tegas dan selektif serta mampu mencari solusi terbaik dari setiap kasus yang terjadi.

2. Peran Aspek Akuntabilitas dan Perkembangan Aset Desa terkait alokasi SHU terhadap PADes yang masih kurang, maka perlu dibuat suatu standar operasional, baik pada layanan, administrasi, maupun manajemen pada BUMDes, agar dana dari program-program lain yang diwadahi oleh BUMDes dapat terjaga dan meminimalisir hilangnya aset.

3. Peran Aspek Peningkatan Taraf Hidup terkait masih rendahnya minat, kemampuan dan kesadaran pengelola BUMDes dan masyarakat untuk berfokus pada pembangunan usaha sektor riil dan tidak hanya berfokus pada sektor simpan pinjam maka perlu diberikan sosialisasi pentingnya kemandirian berwirausaha pada masyarakat dan konsultasi mengenai potensi bisnis yang dapat dijalannya. Selain itu dapat dilakukan pelatihan-pelatihan ketrampilan dan kewirausahaan yang intensif baik secara kuantitas dan kualitas untuk pengurus yang terlibat dalam BUMDes maupun masyarakat sekitar agar dapat mengubah pola pikir masyarakat pekerja untuk lebih berani membuka usaha baru.

 4. Peran Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-Undangan terkait tingkat pengembalian dana, maka pengurus BUMDes hendaknya lebih bijak dan bisa memilih prioritas, sehingga tidak ada dana yang terbuang percuma. Misal di sektor simpan pinjam perlu ada standarisasi persyaratan, prioritas, prosedur dan peraturannya yang harus dibuat untuk calon nasabah, juga perlunya seleksi calon nasabah agar didapat nasabah yang memang benar-benar membutuhkan dana usaha yang dampaknya dapat mengantispasi terjadinya kredit macet. Lebih lanjut, selain melalui prosedur pelaporan perlu adanya peningkatan kuantitas dan kualitas pengawasan secara langsung dari di Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) serta Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat agar prosedur penanganan kredit macet tetap dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Buku Panduan Pendirian dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). 2007. Surabaya. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Avilliani. 2012. Kemandirian Ekonomi. UIN: Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).

Budiardjo, Miriam. 2004. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Department For International Development (DFID). 2003. “The Importance of Financial Sector Development for Growth and Poverty Reduction”. Policy Division Working Paper.

Hayyuna R, Pratiwi RN, Mindarti LI. 2014. Strategi Manajemen Aset Bumdes Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Desa (Studi Pada Bumdes Di Desa Sekapuk, Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik). Jurnal Administrasi Publik Volume 2 Nomor 1. Diunduh Pada 1 Desember 2016. Http://Administrasipublik.Studentjournal.Ub.Ac.Id/Index.Php/Jap/Article/View/330

Mikkelsen, B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. (Terjemahan Matheos Nalle), Edisi Ketiga, Februari 2003.

Miles, Matthew B dan Huberman, A Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta. Universitas Indonesia Press.

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Cetakan 2. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Nugraha, Mahendra Adi. 2014. Analisis Kinerja Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Implikasinya bagi Kemandirian Ekonomi.  Skripsi tidak dipublikasikan. Malang. Universitas Brawijaya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta. Gava Media.

Sastropoetro, Santoso. R.A. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Bandung. Alumni.

Sumaryadi, I Nyoman. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. Penerbit Citra Utama.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pembukaan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.